Tuesday, August 18, 2009

Kepastian Nasab

الولد للفراش وللعاهر الحجر
"Nasab anak mengikuti laki-laki yang menjadi suami ibunya, sedangkan bagi orang
yang berzina, hukuman nya adalah rajam" (HR. Abu Dawud no. 1935, 1936 CD; Nasa'i
no. 3428,3429,3430,3432 CD; Ibnu Majah no. 1996,1997,2703 CD; dan Baihaqi, dari
'Aisyah)

Penjelasan:
Dalam Hadits di atas dijelaskan bahwa pernikahan yang sah berpengaruh pada
kepastian nasab anak. Apabila seorang perempuan telah sah menikah dengan seorang
laki-laki, tentu saja laki-laki inilah yang menjadi bapak dari anak-anaknya.

Dalam pernikahan yang sah menurut Islam, akad nikah dilakukan oleh perempuan dan
laki-laki sebelum keduanya melakukan hubungan seksual. Jika akad nikah dilakukan
setelah keduanya berhubungan seksual dan perempuannya sudah hamil, hukumnya
haram. Anak yang dikandung perempuan tersebut tidak boleh dinasabkan kepada laki
-laki yang menikahi nya walaupun laki-laki itulah yang menghamilinya.

Pernikahan tersebut hukumnya haram. Jadi, anak yang dilahirkan oleh perempuan
tersebut menurut Islam bukan anak dari laki-laki yang menjadi suaminya.
Kepastian nasab bagi seorang anak merupakan hal yang pokok dalam hubungan anak
dengan orang tuanya. Kepastian nasab akan memperjelas hak dan kewajiban anak
terhadap orang tuanya;juga sebaliknya. Kewajiban anak terhadap orang tua adalah
berbakti. Sebaliknya, kewajiban orang tua terhadap anak antara lain memberi
nafkah. Adapun hak orang tua terhadap anak, selain dipatuhi, adalah mendapatkan
warisan dari anaknya jika kelak anaknya meninggal, sedangkan mereka masih hidup.

Jadi kepastian nasab bukan hanya menyangkut hak anak untuk mendapatkan nafkah dari bapaknya, melainkan juga menjadi kepentingan bapaknya kelak agar setelah ia jompo dan lemah anaknya yang dewasa bertanggung jawab memelihara dan menyantuninya.

Kepastian nasab sangat penting dalam hukum Islam karena Islam tidak mengakui berbagai macam bentuk nasab orang tua dan anak di luar pernikahan. Anak angkat, anak pungut, anak hasil berzina, dan anak tiri merupakan contoh nasab anak yang tidak diakui Islam.

Walaupun masyarakat mengakui hubungan anak angkat dengan bapak angkat, Islam tidak menolak penasaban tersebut dan menyatakannya sebagai perbuatan jahiliyah yang harus diberantas. Demikian juga anak yang diambil seseorang di jalanan dan tidak diketahui siapa orang tuanya. Walaupun pemungutnya berkewajiban memelihara sampai anak tersebut dewasa, anak yang dipungut tetap tidak mempunyai hubungan apapun dengan pemungutnya. Anak tiri pun begitu, ia tidak mempunyai hak waris dari bapak tirinya;juga sebaliknya.

Jadi, hanya melalui pernikahan yang sah menurut Islamlah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan akan memperoleh nasab yang jelas, yaitu kepada laki-laki yang menjadi suaminya.
والله اعلم بالصواب

Monday, August 17, 2009

Sifat Duapuluh Allah

1. Wujud : Artinya Ada

Yaitu tetap dan benar yang wajib bagi zat Allah Ta’ala yang tiada disebabkan dengan sesuatu sebab. Maka wujud ( Ada ) – disisi Imam Fakhru Razi dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi bukan ia a’in maujud dan bukan lain daripada a’in maujud , maka atas qaul ini adalah wujud itu Haliyyah ( yang menepati antara ada dengan tiada) . Tetapi pada pendapat Imam Abu Hassan Al-Ashaari wujud itu ‘ain Al-maujud , karena wujud itu zat maujud karena tidak disebutkan wujud melainkan kepada zat. Kepercayaan bahwa wujudnya Allah SWT. bukan saja di sisi agama Islam tetapi semua kepercayaan di dalam dunia ini mengaku menyatakan Tuhan itu ada. Firman Allah SWT. yang bermaksud :

” Dan jika kamu tanya orang-orang kafir itu siapa yang menjadikan langit dan bumi nescaya berkata mereka itu Allah yang menjadikan……………” ( Surah Luqman : Ayat 25 )

2. Qidam : Artinya Sedia

Pada hakikatnya menafikan ada permulaan wujud Allah SWT karena Allah SWT. menjadikan tiap-tiap suatu yang ada, yang demikian tidak dapat tidak keadaannya lebih dahulu daripada tiap-tiap sesuatu itu. Jika sekiranya Allah Ta’ala tidak lebih dahulu daripada tiap-tiap sesuatu, maka hukumnya adalah mustahil dan batil. Maka apabila disebut Allah SWT. bersifat Qidam maka jadilah ia qadim. Di dalam Ilmu Tauhid ada satu perkataan yang sama maknanya dengan Qadim Yaitu Azali. Setengah ulama menyatakan bahwa kedua-dua perkataan ini sama maknanya Yaitu sesuatu yang tiada permulaan baginya. Maka qadim itu khas dan azali itu am. Dan bagi tiap-tiap qadim itu azali tetapi tidak boleh sebaliknya, Yaitu tiap-tiap azali tidak boleh disebut qadim. Adalah qadim dengan nisbah kepada nama terbahagi kepada empat bagian :

· Qadim Sifati ( Tiada permulaan sifat Allah Ta’ala )

· Qadim Zati ( Tiada permulaan zat Allah Ta’ala )

· Qadim Idhafi ( Terdahulu sesuatu atas sesuatu seperti terdahulu bapa nisbah kepada anak )

· Qadim Zamani ( Lalu masa atas sesuatu sekurang-kurangnya satu tahun )

Maka Qadim Haqiqi ( Qadim Sifati dan Qadim Zati ) tidak harus dikatakan lain daripada Allah Ta’ala.

3. Baqa’ : Artinya Kekal

Sentiasa ada, kekal ada dan tiada akhirnya Allah SWT . Pada hakikatnya ialah menafikan ada kesudahan bagi wujud Allah Ta’ala. Adapun yang lain daripada Allah Ta’ala , ada yang kekal dan tidak binasa Selama-lamanya tetapi bukan dinamakan kekal yang hakiki ( yang sebenar ) Bahkan kekal yang aradhi ( yang mendatang jua seperti Arasy, Luh Mahfuz, Qalam, Kursi, Roh, Syurga, Neraka, jisim atau jasad para Nabi dan Rasul ). Perkara –perkara tersebut kekal secara mendatang tatkala ia bertakluq dengan Sifat dan Qudrat dan Iradat Allah Ta’ala pada mengekalkannya. Segala jisim semuanya binasa melainkan ‘ajbu Az-zanabi ( tulang kecil seperti biji sawi letaknya di tungking manusia, itulah benih anak Adam ketika bangkit daripada kubur kelak ). Jasad semua nabi-nabi dan jasad orang-orang syahid berjihad Fi Sabilillah yang mana ianya adalah kekal aradhi jua. Disini nyatalah perkara yang diiktibarkan permulaan dan kesudahan itu terbahagi kepada 3 bagian :

· Tiada permulaan dan tiada kesudahan Yaitu zat dan sifat Alllah SWT.

· Ada permulaan tetapi tiada kesudahan Yaitu seperti Arash, Luh Mahfuz , syurga dan lain-lain lagi.

· Ada permulaan dan ada kesudahan Yaitu segala makhluk yang lain daripada perkara yang diatas tadi ( Kedua ).

4. Mukhalafatuhu Ta’ala Lilhawadith. Artinya : Bersalahan Allah Ta’ala dengan segala yang baharu.

Pada zat , sifat atau perbuatannya sama ada yang baru , yang telahada atau yang belum ada. Pada hakikat nya adalah menafikan Allah Ta’ala menyerupai dengan yang baharu pada zatnya , sifatnya atau perbuatannya. Sesungguhnya zat Allah Ta’ala bukannya berjirim dan bukan aradh Dan tiada sesekali zatnya berdarah , berdaging , bertulang dan juga bukan jenis leburan , tumbuh-tumbuhan , tiada berpihak ,tiada bertempat dan tiada dalam masa. Dan sesungguhnya sifat Allah Ta’ala itu tiada bersamaan dengan sifat yang baharu karena sifat Allah Ta’ala itu qadim lagi azali dan melengkapi ta’aluqnya. Sifat Sama’ ( Maha Mendengar ) bagi Allah Ta’ala berta’aluq ia pada segala maujudat tetapi bagi mendengar pada makhluk hanya pada suara saja. Sesungguhnya di dalam Al-Quraan dan Al-Hadith yang menyebut muka dan tangan Allah SWT. , maka perkataan itu hendaklah kita iktiqadkan thabit ( tetap ) secara yang layak dengan Allah Ta’ala Yang Maha Suci daripada berjisim dan Maha Suci Allah Ta’ala bersifat dengan segala sifat yang baharu.

5. Qiyamuhu Ta’ala Binafsihi : Artinya : Berdiri Allah Ta’ala dengan sendirinya .

Tidak berkehendak kepada tempat berdiri ( pada zat ) dan tidak berkehendak kepada yang menjadikannya Maka hakikatnya ibarat daripada menafikan Allah SWT. berkehendak kepada tempat berdiri dan kepada yang menjadikannya. Allah SWT itu terkaya dan tidak berhajat kepada sesuatu sama adapada perbuatannya atau hukumannya. Allah SWT menjadikan tiap-tiap sesuatu dan mengadakan undang-undang semuanya untuk faedah dan maslahah yang kembali kepada sekalian makhluk . Allah SWT menjadikan sesuatu ( segala makhluk ) adalah karena kelebihan dan belas kasihannya bukan berhajat kepada faedah. Allah SWT. Maha Terkaya daripada mengambil apa-apa manafaat di atas kataatan hamba-hambanya dan tidak sesekali menjadi mudharat kepada Allah Ta’ala atas sebab kemaksiatan dan kemungkaran hamba-hambanya. Apa yang diperintahkan atau ditegah pada hamba-hambanya adalah perkara yang kembali faedah dan manafaatnya kepada hamba-hambaNya jua. Firman Allah SWT. yang bermaksud :

” Barangsiapa berbuat amal yang soleh ( baik ) maka pahalanya itu pada dirinya jua dan barangsiapa berbuat jahat maka balasannya (siksaannya ) itu tertanggung ke atas dirinya jua “. ( Surah Fussilat : Ayat 46 ). Syeikh Suhaimi r.a.h berkata adalah segala yang maujudat itu dengan nisbah berkehendak kepada tempat dan kepada yang menjadikannya, terbahagi kepada empat bagian :

· Terkaya daripada tempat berdiri dan daripada yang menjadikannya Yaitu zat Allah SWT.

· Berkehendak kepada tempat berdiri dan kepada yang menjadikannya Yaitu segala aradh ( segala sifat yang baharu ).

· Terkaya daripada zat tempat berdiri tetapi berkehendak kepada yang menjadikannya Yaitu segala jirim. ( Segala zat yang baharu ) .

· Terkaya daripada yang menjadikannya dan berdiri ia pada zat Yaitu sifat Allah Ta’ala.

6. Wahdaniyyah. Artinya : Esa Allah Ta’ala pada zat, pada sifat & pada perbuatan.

Maka hakikatnya ibarat daripada menafikan berbilang pada zat, pada sifat dan pada perbuatan sama ada bilangan yang muttasil (yang berhubung ) atau bilangan yang munfasil ( yang bercerai ).

Makna Esa Allah SWT pada zat itu Yaitu menafikan Kam Muttasil pada Zat ( menafikan bilangan yang berhubung dengan zat ) seperti tiada zat Allah Ta’ala tersusun daripada darah , daging , tulang ,urat dan lain-lain. Dan menafikan Kam Munfasil pada zat ( menafikan bilangan yang bercerai pada zat Allah Ta’ala )seperti tiada zat yang lain menyamai zat Allah Ta’ala.

Makna Esa Allah SWT pada sifat Yaitu menafikan Kam muttasil pada Sifat ( menafikan bilangan yang berhubung pada sifatnya ) Yaitu tidak sekali-kali bagi Allah Ta’ala pada satu-satu jenis sifatnya dua qudrat dan menafikan Kam Munfasil pada sifat ( menafikan bilangan –bilangan yang bercerai pada sifat ) Yaitu tidak ada sifat yang lain menyamai sebagaimana sifat Allah SWT. yang Maha Sempurna.

Makna Esa Allah SWT pada perbuatan Yaitu menafikan Kam Muttasil pada perbuatan ( menafikan bilangan yang bercerai–cerai pada perbuatan ) Yaitu tidak ada perbuatan yang lain menyamai seperti perbuatan Allah bahkan segala apa yang berlaku di dalam alam semuanya perbuatan Allah SWT sama ada perbuatan itu baik rupanya dan hakikatnya seperti iman dan taat atau jahat rupanya tiada pada hakikat-nya seperti kufur dan maksiat sama ada perbuatan dirinya atau perbuatan yang lainnya ,semuanya perbuatan Allah SWT dan tidak sekali-kali hamba mempunyai perbuatan pada hakikatnya hanya pada usaha dan ikhtiar yang tiada memberi bekas. Maka wajiblah bagi Allah Ta’ala bersifat Wahdaniyyah dan ternafi bagi Kam yang lima itu Yaitu :

1. Kam Muttasil pada zat.

2. Kam Munfasil pada zat.

3. Kam Muttasil pada sifat.

4. Kam Munfasil pada sifat.

5. Kam Munfasil pada perbuatan.

Maka tiada zat yang lain , sifat yang lain dan perbuatan yang lain menyamai dengan zat , sifat dan perbuatan Allah SWT . Dan tertolak segala kepercayaan-kepercayaan yang membawa kepada menyekutukan Allah Ta’ala dan perkara-perkara yang menjejaskan serta merusakkan iman.

7. Al – Qudrah : Artinya : Kuasa qudrah Allah SWT.

Memberi bekas pada mengadakan meniadakan tiap-tiap sesuatu. Pada hakikatnya ialah satu sifat yang qadim lagi azali yang thabit ( tetap ) berdiri pada zat Allah SWT. yang mengadakan tiap-tiap yang ada dan meniadakan tiap-tiap yang tiada bersetuju dengan iradah. Adalah bagi manusia itu usaha dan ikhtiar tidak boleh memberi bekas pada mengadakan atau meniadakan , hanya usaha dan ikhtiar pada jalan menjayakan sesuatu . Kepercayaan dan iktiqad manusia di dalam perkara ini berbagai-bagaiFikiran dan fahaman seterusnya membawa berbagai-bagai kepercayaan dan iktiqad.

a. Iktiqad Qadariah :

Perkataan qadariah Yaitu nisbah kepada qudrat . Maksudnya orang yang beriktiqad akan segala perbuatan yang dilakukan manusia itu sama ada baik atau jahat semuanya terbit atau berpunca daripada usaha dan ikhtiar manusia itu sendiri dan sedikitpun tiada bersangkut-paut dengan kuasa Allah SWT.

b. Iktiqad Jabariah :

Perkataan Jabariah itu nisbah kepada Jabar ( Tergagah ) dan maksudnya orang yang beriktiqad manusia dan makhluk bergantung kepada qadak dan qadar Allah semata-mata ( tiada usaha dan ikhtiar atau boleh memilih samasekali ).

c. Iktiqad Ahli Sunnah Wal – Jamaah :

Perkataan Ahli Sunnah Wal Jamaahialah orang yang mengikut perjalanan Nabi dan perjalanan orang-orang Islam Yaitu beriktiqad bahwa hamba itu tidak digagahi semata-mata dan tidak memberi bekas segala perbuatan yang disengajanya, tetapi ada perbuatan yang di sengaja pada zahir itu yang dikatakan usaha dan ikhtiar yang tiada memberi bekas sebenarnya sengaja hamba itu daripada Allah Ta;ala jua. Maka pada segala makhluk ada usaha dan ikhtiar pada zahir dan tergagah pada batin dan ikhtiar serta usaha hamba adalah tempat pergantungan taklif ( hukum ) ke atasnya dengan suruhan dan tegahan ( ada pahala dan dosa ).

8. Iradah : Artinya : Menghendaki Allah Ta’ala.

Maksudnya menentukan segala mumkin ttg adanya atau tiadanya. Sebenarnya adalah sifat yang qadim lagi azali thabit berdiri pada Zat Allah Ta’ala yang menentukan segala perkara yang harus atau setengah yang harus atas mumkin . Maka Allah Ta’ala yang selayaknya menghendaki tiap-tiap sesuatu apa yang diperbuatnya. Umat Islam beriktiqad akan segala hal yang telah berlaku dan yang akan berlaku adalah dengan mendapat ketentuan daripada Allah Ta’ala tentang rezeki , umur , baik , jahat , kaya , miskin dan sebagainya serta wajib pula beriktiqad manusia ada mempunyai nasib ( bagian ) di dalam dunia ini sebagaimana firman Allah SWT. yang bermaksud : ” Janganlah kamu lupakan nasib ( bagian ) kamudi dalam dunia ” . (Surah Al – Qasash : Ayat 77). Kesimpulannya ialah umat Islam mestilah bersungguh-sungguh untuk kemajuan di dunia dan akhirat di mana menjunjung titah perintah Allah Ta’aladan menjauhi akan segala larangan dan tegahannyadan bermohon dan berserah kepada Allah SWT.

9. ‘Ilmu : Artinya : Mengetahui Allah Ta’ala .

Maksudnya nyata dan terang meliputi tiap-tiap sesuatu sama ada yangMaujud (ada) atau yang Ma’adum ( tiada ). Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap ada ( thabit ) qadim lagi azali berdiri pada zat Allah Ta’ala. Allah Ta’ala Maha Mengetahui akan segala sesuatu sama ada perkara. Itu tersembunyi atau rahasia dan juga yang terang dan nyata. Maka ’ilmu Allah Ta’ala Maha Luas meliputi tiap-tiap sesuatu diAlam yang fana’ ini.


10. Hayat . Artinya : Hidup Allah Ta’ala.

Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap qadim lagi azali berdiri pada zat Allah Ta’ala . Segala sifat yang ada berdiri pada zat daripada sifat Idrak ( pendapat ) Yaitu : sifat qudrat, iradat , Ilmu , Sama’ Bashar dan Kalam.

11. Sama’ : Artinya : Mendengar Allah Ta’ala.

Hakikatnya ialah sifat yang tetap ada yang qadim lagi azali berdiri pada Zat Allah Ta’ala. Yaitu dengan terang dan nyata pada tiap-tiap yang maujud sama ada yang maujud itu qadim seperti ia mendengar kalamnya atau yang ada itu harus sama ada atau telah ada atau yang akan diadakan. Tiada terhijab (terdinding ) seperti dengan sebab jauh , bising , bersuara , tidak bersuara dan sebagainya. Allah Ta’ala Maha Mendengar akan segala yang terang dan yang tersembunyi. Sebagaimana firman Allah Ta’ala yang bermaksud :

” Dan ingatlah Allah sentiasa Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui “.

( Surah An-Nisa’a – Ayat 148 )

12. Bashar : Artinya : Melihat Allah Ta’ala .

Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap ada yang qadim lagi azali berdiri pada zat Allah Ta’ala. Allah Ta’ala wajib bersifat Maha Melihat sama ada yang dapat dilihat oleh manusia atau tidak, jauh atau dekat , terang atau gelap , zahir atau tersembunyi dan sebagainya. Firman Allah Ta’ala yang bermaksud : ” Dan Allah Maha Melihat akan segala yang mereka kerjakan “. ( Surah Ali Imran – Ayat 163 )

13 .Kalam : Artinya : Berkata-kata Allah Ta’ala.

Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap ada , yang qadim lagi azali , berdiri pada zat Allah Ta’ala. Menunjukkan apa yang diketahui oleh ilmu daripada yang wajib, maka ia menunjukkan atas yang wajib sebagaimana firman Allah Ta’ala yang bermaksud : ” Aku Allah , tiada tuhan melainkan Aku ………”. ( Surah Taha – Ayat 14 ) Dan daripada yang mustahil sebagaimana firman Allah Ta’ala yang bermaksud : ” ……..( kata orang Nasrani ) bahwasanya Allah Ta’ala yang ketiga daripada tiga……….”. (Surah Al-Mai’dah – Ayat 73). Dan daripada yang harus sebagaimana firman Allah Ta’ala yang bermaksud : ” Padahal Allah yang mencipta kamu dan benda-benda yang kamu perbuat itu”. (Surah Ash. Shaffaat – Ayat 96). Kalam Allah Ta’ala itu satu sifat jua tiada berbilang. Tetapi ia berbagai-bagai jika dipandang dari perkara yang dikatakan Yaitu :

1. Menunjuk kepada ‘amar ( perintah ) seperti tuntutan mendirikan solat dan lain-lain kefardhuan.

2. Menunjuk kepada nahyu ( tegahan ) seperti tegahan mencuri dan lain-lain larangan.

3. Menunjuk kepada khabar ( berita ) seperti kisah-kisah Firaundan lain-lain.

4. Menunjuk kepada wa’ad ( janji baik ) seperti orang yang taat dan beramal soleh akan dapat balasan syurga dan lain-lain.

5. Menunjuk kepada wa’ud ( janji balasan siksa ) seperti orang yang mendurhaka kepada ibu & bapak akan dibalas dengan azab siksa yang amat berat.

14. Kaunuhu Qadiran : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Berkuasa Mengadakan Dan Mentiadakan.

Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , Yaitu lain daripada sifat Qudrat.

15.Kaunuhu Muridan : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Menghendaki dan menentukan tiap-tiap sesuatu.

Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala , tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , Yaitu lain daripada sifat Iradat.

16.Kaunuhu ‘Aliman : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Mengetahui akan Tiap-tiap sesuatu.

Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , Yaitu lain daripada sifat ‚Ilmu.

17.Kaunuhu Hayyun : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Hidup.

Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , Yaitu lain daripada sifat Hayat.

18.Kaunuhu Sami’an : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Mendengar akan tiap-tiap yang Maujud.

Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum, Yaitu lain daripada sifat Sama’.

19.Kaunuhu Bashiran : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Melihat akan tiap-tiap yang Maujudat ( Benda yang ada ).

Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , Yaitu lain daripada sifat Bashar.

20.Kaunuhu Mutakalliman : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Berkata-kata.

Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , Yaitu lain daripada sifat Kalam.

.

.

SIFAT MUSTAHIL BAGI ALLAH S.W.T

Wajib atas tiap-tiap mukallaf mengetahui sifat-sifat yang mustahil bagi Allah yang menjadi lawan daripada dua puluh sifat yang wajib baginya. Maka dengan sebab itulah di nyatakan di sini sifat-sifat yang mustahil satu-persatu :

1. ‘Adam beerti “tiada”

2. Huduth beerti “baharu”

3. Fana’ beerti “binasa”

4. Mumathalatuhu Lilhawadith beerti “menyerupai makhluk”

5. Qiyamuhu Bighayrih beerti “berdiri dengan yang lain”

6. Ta’addud beerti “berbilang-bilang”

7. ‘Ajz beerti “lemah”

8. Karahah beerti “terpaksa”

9. Jahl beerti “jahil/bodoh”

10. Mawt beerti “mati”

11. Samam beerti “tuli”

12. ‘Umy beerti “buta”

13. Bukm beerti “bisu”

14. Kaunuhu ‘Ajizan beerti “keadaannya yang lemah”

15. Kaunuhu Karihan beerti “keadaannya yang terpaksa”

16. Kaunuhu Jahilan beerti “keadaannya yang jahil/bodoh”

17. Kaunuhu Mayyitan beerti “keadaannya yang mati”

18. Kaunuhu Asam beerti “keadaannya yang tuli”

19. Kaunuhu A’ma beerti “keadaannya yang buta”

20. Kaunuhu Abkam beerti “keadaannya yang bisu”

SIFAT HARUS BAGI ALLAH S.W.T

Adalah sifat yang harus pada hak Allah Ta’ala hanya satu saja Yaitu Harus bagi Allah mengadakan sesuatu atau tidak mengadakan sesuatu atau di sebut sebagai “mumkin” (Fi’lu kulli Mumkinin Autarkuhu). Mumkin ialah sesuatu yang harus ada dan tiada. Harus disini artinya boleh-boleh saja. Artinya boleh-boleh saja Allah SWT menciptakan sesuatu, yakni tidak ada paksaan dari sesuatu, karena Allah bersifat Qudrat dan Irodah. Dan boleh-boleh saja bagi Allah SWT meniadakan sesuatu. والله اعلم بالصواب

Thursday, August 13, 2009

Jangan Sampai Hal-hal yang Sepele Membinasakan Anda!

Banyak orang bersedih hanya karena hal-hal sepele yang tak berarti.
Perhatikanlah orang-orang munafik; betapa rendahnya semangat dan tekad
mereka. Berikut ini adalah perkataan-perkataan mereka:

{Janganlah kamu sekalian berangkat (pergi berperang) di dalam panas terik ini.}
(QS. At-Taubah: 81)
{Berilah kami izin (tidak pergi berperang) dan janganlah menjadikan saya
terjerumus ke dalam fitnah.}
(QS. At-Taubah: 49)
{Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga).}
(QS. Al-Ahzab: 13)
{Kami takut akan mendapat bencana.}
(QS. Al-Ma'idah: 52)
{Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya.}
(QS. Al-Ahzab: 12)

Sungguh, betapa sempitnya hidung-hidung mereka, betapa sengsaranya
jiwa-jiwa mereka. Hidup mereka hanya pada sebatas soal perut, piring, rumah
dan istana. Mereka tidak pernah mau menengadahkan pandangan mereka
ke angkasa kehidupan yang ideal. Mereka juga tak pernah menatap bintang-bintang
keutamaan hidup. Kecemasan dan pengetahuan mereka hanya pada
soal kendaraan, pakaian, sandal dan makanan. Coba perhatikan, betapa
banyaknya manusia yang hidupnya dari pagi hingga sore hanya disibukkan
oleh kecemasan dan kegelisahan mereka agar tidak dibenci isteri, anak
atau kerabat dekatnya, atau agar tidak mendapat celaan, atau mengalami
keadaan yang menyedihkan. Ini semua, pada dasarnya justru merupakan
musibah besar bagi manusia-manusia seperti itu. Betapa mereka sama sekali
tidak memiliki tujuan-tujuan yang lebih mulia yang seharusnya menyibukkan
mereka, dan juga kepentingan-kepentingan agung yang seharusnya menyita
seluruh waktu mereka.

Padahal, pepatah mengatakan: "Jika air telah keluar dari bejana, hawa
kosong akan datang memenuhinya." Maka dari itu, bila Anda juga merasa
seperti orang-orang tadi, renungkanlah kembali hal-hal yang selama ini telah
menyita perhatian dan hidup Anda, atau bahkan membuat Anda resah setiap
saat. Benarkah semuanya itu pantas memperoleh perhatian dan porsi yang
sedemikian besar dalam hidup Anda? Mengapa Anda harus rela
mengorbankan pikiran, daging darah, ketentraman dan juga waktu hanya
untuk persoalan-persoalan sepele tadi?
Ibarat orang berjual beli, apa yang Anda lakukan itu sebenarnya suatu
keculasan dan kerugian besar yang dibayar murah. Para ahli jiwa sering
mengatakan, "Buatlah batasan yang rasional (wajar) untuk setiap hall" Dan
lebih tepat dari kalimat ini adalah firman Allah,
{Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.}
(QS. Ath-Thalaq: 3)
Yakni, letakkanlah setiap persoalan sesuai dengan ukuran, bobot dan
kadarnya. Janganlah sekali-kali Anda melakukan kezaliman dan melampaui
batas.

Ibaratnya, bila tujuan utama orang-orang yang berbakti kepada Allah
(ketika berada dibawah sebuah pohon) adalah untuk berjual beli, maka mereka
akan mendapatkan ridha Allah. Namun, bila salah seorang dari mereka hanya
disibukkan dengan urusan untanya saja, hingga ia tak sempat ikut berjual
beli, maka yang akan ia peroleh adalah hanya kebinasaan dan kegagalan.
Abaikanlah hal-hal sepele yang tak penting. Jangan sampai Anda hanya
disibukkan olehnya dan waktu Anda habis karenanya. Dengan begitu,
niscaya Anda kegundahan dan kecemasan akan selalu menjauhi Anda.
Dan Anda pun selalu riang ceria.

Wednesday, August 12, 2009

Hukum Teroris

Pada zaman ini atau tepatnya akhir-akhir ini, diantara manusia ada yang menggambarkan Islam sebagai terorisme, padahal Rasulullah SAW bersabda dalam hadits.

مَن قتل مُعاهِدًَابِدون ذَنبٍِ لم يَثُمَّ رًاءِحةالجنة

"Barang siapa membunuh seorang kafir yang ada dalam perjanjian damai (kafir mu'ahad) tanpa sebab, maka tidak akan mencium wangi surga." (HR. al-Bukhari)

Berdasarkan hadits ini, Islam tidak mencukupkan diri dengan satu sanksi bagi terorisme, namun memberinya dua sanksi. Yang pertama di dunia, yaitu hukuman mati bagi pelaku teror, dan sanksi kedua di akhirat, yaitu kekal di neraka.

Dan Muhammad SAW, Nabi yang mengemban amanat agama ini adalah wafat sementara baju perangnya tergadai pada seorang Yahudi. Rasulullah SAW pernah berhubungan dengan orang-orang Yahudi dalam hidupnya.

Kehidupan umat Islam telah berjalan selama selang seratus tahun, ditengah-tengah mereka hidup para syaikh yang giat melakukan setiap perbuatan yang merupakan ajaran Islam, dan mereka berfatwa untuk seluruh ummat di seluruh dunia, tapi belum ada satu fatwa pun yang menghalalkan teror dalam segala bentuk. Justru yang keluar dari mereka adalah fatwa yang melarang tindakan terorisme dan bunuh diri.
Seandainya terorisme bagian dari Islam, tentu orang pertama yang melakukannya adalah ulama-ulama Islam. Seandainya dunia mengikuti ajaran-ajaran Islam, tentu manusia akan selamat dari kematian jutaan jiwa pada setiap tahun. والله اعلم بالصواب
انتهي، ١٠٠ معجزاةالاسلام ٩٥-٩٦

Khatimah (Penutup)

Setelah menelusuri dua sifat Al-Insan antara at-Taqwa dan al-Fujuur yang masing-masing memiliki konsekuensinya. Tentunya bagi pilihan jalan taqwa akan mendapat berbagai keberuntungan, dan sebaliknya jika jalan al-fujuur yang menjadi alternatifnya pintu kesengsaraan akan diraihnya. Pada akhirnya Allah sWT memberikan pilihan kepada setiap ummat untuk mengambil sikap antara iman atau kafir dan harus dipertanggungjawabkan atas hasilnya kelak.
Konsep demokrasi yang ditawarkan oleh Allah SWT tercermin melalui firmanNya, yang artinya: "Dan katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir, sesungguhnya kami telah sediakan bagi orang-orang zhalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka." (QS.18:29).
Jalan taqwa adalah pilihan yang tepat bagi orang-orang beriman dalam menyelamatkan dirinya untuk menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. (QS.2:201)

Al-Jahuula

Bentuk pengobatan lain sebagai konsekuensi jalan kefasikan seseorang, adalah terkena al-jahuula (bodoh) terhadap kebenaran, kemudian merasakan pemilikan al-jahuula tidak dianggap lagi sebagai penyakit yang dapat mengganggu hubungan dengan Allah sWT (hablum minallah) maupun keterkaitannya dengan sesama manusia (hablum minannas). Efek itulah yang selanjutnya dapat mengubah sikap kebaikan kepada kebatilan sebagai sarana jalan syaitan laknatullah.

Sebagai diilustrasikan Allah SWT ketika menawarkan tanggung jawab untuk melaksanakan amanat yang ditolak oleh gunung, langit maupun bumi tetapi manusia menerimanya, seperti firmanNya: "Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya dan dipikullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh." (QS.33:72).

Al-jahuula pada dewasa ini lebih tampak tercermin melalui kebijakan yang diambil seseorang untuk memilih antara kebenaran dan kebatilan, tetapi pilihannya justru kepada kebatilan, yang sesungguhnya mereka mengetahuinya akan mendapat murka (azab) dari Allah SWT kenyataan seperti ini, bukanlah sesuatu yang mengherankan, tetapi dalam zaman yang serba materialistis ini kemungkinan bisa terjadi seketika. Bahkan kebenaran pun bisa dibeli dengan segepok uang! Itulah realita yang sungguh ironis terjadi di jaman sekarang ini. Karena hilangnya kewaspadaan pada tiap-tiap diri seseorang, kemudian hidupnya diliputi oleh ketergantungan yang bersifat materi semata.

Al-Kafuuraa

Konsekuensi mengambil jalur kefasikan maka melahirkan penyakit al-kafuuraa (kafir) dengan kata lain perkataan mengingkari terhadap kebenaran. Kelompok umat ini, pada hakekatnya mengetahui adanya kebenaran, tetapi menutup hati untuk melakukannya (amal) karena kekafiran yang terdapat di dalam dirinya. Sehingga Allah SWT memberikan informasi keberadaan orang-orang kafir seperti diabadikan Al-Quran: "Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat." (QS.2:67).

Makna al-kafuuraa secara lebih jauh dapat dipahami baik secara i'tiqadi (keluar dari Islam) maupun kafir secara amali (pengamalan). Dalam konteks kehidupan sehari-hari yang lebih dominan kafir secara amali (pengamalan), walau pun hatinya masih Islam. Sehingga yang perlu pemikiran lebih dalam, adanya usaha untuk mengembalikan ummat ke jalan ketaqwaan sekaligus meninggalkan sikap kekafiran baik kafir i'tiqadi maupun kafir secara amali. Kekafiran yang terdapat dalam jiwa seseorang baik secara i'tiqadi maupun kafir amali, pada hakekatnya akan menempatkan dirinya pada suatu kerugian, sehingga aktivitas amaliyahnya tidak mendapat nilai menurut pandangan Allah SWT, dalam Al-Quran yang artinya: "Sesungguhnya orang-orang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih. Mereka itu adalah orang-orang yang lenyap (pahala) amal-amalnya di dunia dan akhirat, dan mereka sekali-kali tidak memperoleh penolong." (QS.3:21-22).

Al-Qatuura

Bentuk perilaku kotor dalam bentuk lain yang ada pada jiwa orang-orang fasik yakni Al-Qatuura (kikir), seolah-olah segalanya adalah milik dirinya sendiri baik harta maupun tahta sekalipun. Padahal menurut aturan Allah SWT semuanya merupakan amanah yang harus dipenuhi ketentuannya, seperti diberikannya harta, di dalamnya ada hak orang lain: "Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian." (QS.51:19).
Walaupun manusia memiliki sifat kikir seperti dalam firmanNya: "Katakanlah: "Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya. Dan adalah manusia itu sangat kikir." (QS.17:100). Akan tetapi tidak demikian, jika seseorang yang komitmen terhadap keimanannya. Karena menyadari, bahwa rizki yang Allah SWT berikan sesungguhnya amanah semata, yang sewaktu-waktu dapat diambil kembali olehNya. Jika setiap umat menyadari asal-usul rizki secara proposional, tentu akan melahirkan pribadi-pribadi yang abid (ahli ibadah) seperti akhlak para salafus shalihin.

Al-Maluu'a

Bentuk kefasikan yang lainnya dalam mengotori kebenaran al-Haq yaitu dimilikinya sifat keluh-kesah dalam jiwa seseorang. Terjadinya al-maluu'a (keluh-kesah) dalam diri seseorang merupakan sebuah rangkaian yang tidak terlepaskan dari hasil kefasikan, karenanya hidup selalu merasa terasingkan. Jika hanya dipahami secara kasar orang mengatakan, bentuk keluh-kesah (al-maluu'a) diciptakan oleh Allah jadi tidak perlu dipermasalahkan.
Sebenarnya bukan permasalahan yang jadi konteks di sini, namun menunjukkan bahwa kekuasaan Allah SWT dalam menciptakan sesuatu. Termasuk pengertian al-maluu'a seperti firmanNya: "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir." (QS.70:19). Sekaligus informasi, bahwa Allahlah yang memiliki kekuasaan dan penguasa, karena manusia berhadapan dengan kondisi keluh-kesah sekalipun tidak mampu meninggalkannya. Oleh karena mengapa bangga akan kesombongan diri sendiri, tidakkah kita seharusnya memikirkan ayat-ayatNya.

At-Tadbiniyyah

Aktivitas orang-orang fasik pada hakekatnya at-tadbiniyyah (mengotori) ketentuan Allah SWT yang seharusnya mampu mengaktualisasikannya semata-mata untuk beribadah kepadaNya secara kaffah. Bentuk nyata dari usaha at-tadbiniyyah terhadap hukum Allah SWT, akan tampak dari aktivitas seseorang yang terkena penyakit fasik yaitu:

2. 'Ajuulan
Akibat kefasikan yang melanda hati dan pikiran, seseorang akan tampak dalam berperilaku 'ajuulan (terburu-buru), sehingga hasilnya kurang memuaskan, kemungkinan lain dapat merugikan semua pihak. Betapa berbahayanya, orang yang di luar terkena getahnya, padahal tidak mengetahui permasalahannya. Di samping itu, manusia mempunyai sifat tergesa-gesaan seperti ditegaskan oleh Allah SWT: "Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa." (QS.17:11).
Perbuatan yang dilakukan secara tergesa-gesa pada hakekatnya bentuk orang-orang yang membelakangi sunnatullah dan ketidakmampuan menghadapi kesabaran. Sehingga ditempuh jalan garis cepat, yang sebenarnya akan berhadapan dengan kerugian serta berbagai benturan. Pada akhirnya tercipta kondisi yang tidak menentu dan kemudian lahirlah sikap ragu-ragu terhadap langkah berikutnya.

Al-Fujura

Sifatul insan yang bertentangan dengan sifat at-taqwa adalah al-Fujur (fasik), sehingga jalan ini harus dihindarkan jangan sampai masuk ke ruang hati maupun pikiran seorang mukmin. Dimiliki sifat fujur karena dominasi kecintaan kepada dunia secara berlebih-lebihan, sehingga kewajiban kepada Allah SWT atau hukum-hukumNya diabaikan. Kelompok fasik ditegaskan Allah SWT: "Katakanlah: Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan RasulNya dan (dari) berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik." (QS.9:24).
Kefasikan yang melanda jiwa seseorang selain orientasi keduniaan lebih dominan, juga banyak melakukan kemaksiatan lewat kehidupan sehari-hari, dengan melupakan untuk bertaubat (perbaikan) sehingga berbuat penyimpangan terbiasa. Dengan lain perkataan, selalu memproduksi penyakit atau mengotorinya (at-tadbiniyyah) syariat Islam. Jika demikian kenyataannya, maka dominasi kefasikan akan membawa kerugian ummat manusia dunia maupun akhirat kelak.

Al-Falah

Puncak tazkiyatun nafsi yang sebelumnya telah melakukan aktivitas syukur hingga al-amin sebagai syamarah (buahnya) adalah alfalah (kemenangan). Al-Falah yang diraihnya bukan hadir tanpa melalui proses tadhiyah untuk meraihnya. Ketaatan/tsiqah kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW menyertainya: "Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan RasulNya dan takut kepada Allah dan bertaqwa kepadaNya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan." (QS.24:52).
Kemenangan yang dijanjikan Allah SWT sekaligus sebagai cambuk untuk berada serta mampu mempertahankan nilai ketaqwaan sampai akhir zaman. Ketika dimilikinya, tentu usaha untuk mempertahankan al-falah dalam sikap yang sesuai dengan syari'atullah, jika melenceng akan menjadi preseden kurang baik.

Al-Amin

Salah satu akhlak yang menonjol dalam perilaku Rasulullah SAW adalah Al-Amin (terpercaya), yang harus menjadi petunjuk oleh setiap umat Islam. Karena faktor kepercayaan akan mampu menciptakan kondisi yang mendekatkan perilaku kebajikan dalam operasionalitas hidupnya. Dalam menumbuhkan sikap Al-Amin sedikit banyak dipengaruhi oleh diyah (lingkungan) di mana seseorang berada, karena itu perlu adanya orientasi keluar. Dalam pengertian, bergaullah dengan lingkungan yang terhindar dari hilangnya wilayah Al-Amin, seperti Allah SWT memberikan informasi: "Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang beriman." (QS.9:119).
Maka peran pergaulanlah dapat mempengaruhi perilaku seseorang, untuk itulah memperhatikan lingkungan dalam dimensi hubungan sosial yang dapat menciptakan situasi aman tenteram sejauh mana adanya upaya ke arah ke sana. Demikian pula, jiwa Al-Amin pada hakikatnya fitrah yang melekat dalam jiwa seseorang, tetapi sering terabaikan untuk dimanfaatkan sesuai aturan syariah. Jalan taqwa yang menjadi pilihan seseorang merupakan kesuksesan untuk meraih kondisi tazkiyatun nafsi, kemudian terbangunnya ketenangan lahir batin.

Ar-Rahim

Bentuk Ar-Rahim (kasih sayang) Allah SWT diciptakan agar dijadikan landasan hidup setiap orang, sehingga terwujudnya masyarakat yang penuh damai. Hilangnya perasaan kasih sayang yang kemudian diganti oleh pertikaian menjadikan dunia ini penuh malapetaka. Kalau dunia diisi hanya oleh perbuatan biadab dan menafikan nilai Ar-Rahim, jika yang terjadi demikian, kelak Allah SWT menurunkan peringatan: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS.30:41).
Sangat penting untuk menciptakan perasaan kasih sayang agar terhindar dari malapetaka yang diturunkan oleh Allah SWT hanya karena ulah segelintir manusia. Karena pandangan itulah, Allah SWT menegaskan perlu ditekankan kondisi kasih sayang seperti firmanNya: "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi kasih sayang mereka, kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaanNya." (QS.48:29).

Pemaaf

Konsekuensi tertanamnya tazkiyatun nafs, juga dapat melahirkan orang-orang yang mampu menahan amarah dan membentuk perilaku pemaaf. Karena dalam udara penuh emosional sulit orang mampu mewujudkan jiwa yang suka memaafkan terhadap kesalahan pihak lain. Sesungguhnya menurut pandangan Islam nilai pemaaf merupakan hasil penataan dari keimanan seseorang. Oleh karenanya Allah SWT mengabadikan dalam Al-Quran: "...dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS.3:134).
Begitu urgensinya seorang mukmin harus mampu menahan amarahnya disertai sikap suka memaafkan kesalahan orang lain, sehingga Rasulullah SAW memberikan petunjuk dalam sabdanya: "Jangan engkau mudah marah." Maka diulangi beberapa kali, sabdanya: "Janganlah engkau mudah marah." (HR.Bukhari,Muslim). Jelas sekali Islam memandang pentingnya untuk memasyarakatkan pemaaf disertai berupaya mampu menahan amarah, bila sudah membudaya maka niscaya akan diikuti orang di sekitarnya.

Bersabar

Sikap sabar pun hanya akan abadi dalam jiwa seseorang yang selalu dihidupi oleh tazkiyatun nafs,sehingga melahirkan sikap di bawah monitor Al-Haq. Artinya sikap yang keluar ketika menghadapi ujian maupun cobaan hidup akan dihadapi penuh kesabaran serta keimanan kepadaNya. Di samping itu Allah SWT menyertai terhadap orang-orang yang mampu mempergunakan pakaian kesabaran dalam menjalani kehidupan baik pada kondisi suka maupun duka: "Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS.2:153).
Terutama dalam menghadapi zaman yang serba materialistis disertai oleh budaya pembaratan, jika hilangnya pakaian kesabaran, maka hidup akan terasa "gerah". Dan telah tampak bukti-bukti yang ada di hadapan mata, betapa kekerasan disertai kriminalitas salah satu penyebabnya pengaruh sosial. Maka orang di sebelah seberang membuat analisis akibat jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, sehingga menimbulkan krisis moral maupun meningkatnya kriminalitas.
Apabila memperhatikan kondisi yang serba panas, terlihat dengan jelas bahwa nilai kesabaran terlemparkan sejauh mungkin. Padahal, sabar sebuah ruh yang harus dijadikan pola hidup oleh orang-orang beriman kepada Allah SWT, RasulNya maupun hari akhir.

Taskiyatun Nafs

Jika marhalah dalam mencapai ketakwaan dilaksanakan secara maksimal, maka akan melahirkan orang-orang yang senantiasa mengadakan tazkiyatun nafs (pembersihan diri) setiap saat. Tazkiyatun nafs sebagai konsekuensi logis tercapainya situasi ketakwaan kepada Allah SWT yang merupakan cita-cita setiap mukmin.
Karena itulah Allah SWT menegaskan dalam kitab suci Al-Quran: "Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata." (QS.62:2). Syamarah (buah) dari tazkiyatun nafs akan tampak dalam perilaku seseorang diantaranya yaitu:

1. Selalu Bersyukur
Mensyukuri nikmat Allah yang diberikan kepada seseorang adalah perbuatan mulia, tetapi banyak diantara orang sulit melaksanakannya karena melupakan nilai nikmat yang sangat besar telah diberikan oleh Allah SWT, kecuali orang-orang yang selalu mengadakan tazkiyatun nafs terhadap dirinya sendiri. Sehingga menurut pandangan yang digariskan oleh Allah sWT dengan bersyukur kepadaNya kenikmatan pun berlipat ganda seperti firmanNya: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatKu), maka sesungguhnya adzabKu sangat pedih." (QS.14:7). Maka pengaruh dari tazkiyatun nafs akan membekas pada seseorang dengan kegiatan selalu melakukan syukur terhadap Allah SWT.

Mujahadah

Kerja keras secara maksimal merupakan tahapan yang harus diupayakan untuk mencapai keberhasilan. Karena sesuatu yang mustahil kesuksesan didapat tanpa melalui perjuangan dengan sungguh-sungguh dan itulah kemudian disebugt mujahadah (optimalisasi). Secara terminologi makna mujahadah yakni apabila seorang mukmin terseret dalam kemalasan, santai, cinta dunia dan tidak lagi melaksanakan amal-amal sunnah serta ketaatan yang lainnya tepat pada waktunya, maka ia harus memaksa dirinya melakukan amalan-amalan sunnah lebih banyak dari sebelumnya. Kemudian dalam kaitan ini, ia harus tegas, dan penuh semangat sehingga pada akhirnya ketaatan merupakan kebiasaan yang mulia bagi dirinya dan menjadi sikap yang melekat pada dirinya.
Secara tersurat dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman: "Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." (QS.29:69). Bentuk mujahadah yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW diperlihatkan ketika menghadapi akhir ramadhan seperti sabdanya: "Apabila Rasulullah memasuki sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, beliau menghidupkan malam (dengan ibadah), membangunkan keluarganya bersungguh-sungguh dan mengencangkan ikat pinggang." (HR.Bukhari Muslim).

Mu'aqabah

Dalam setiap pekerjaan akan berhadapan dengan sebuah perbuatan kesalahan walaupun mungkin ada yang bersifat sengaja atau karena alpa. Ketika berhadapan dengan perbuatan kesalahan yang dilakukan secara sengaja perlu diambil sanksi (mu'aqabah). Namun ajaran Islam yang agung telah memberikan uswah, walaupun perbuatan kesalahan karena alpa sebagai pendidikan adanya tindakan mu'aqabah. Hal ini dapat dilihat dari riwayat, bahwa Uman bin Khatab ra., pergi ke kebunnya. Ketika pulang didapatinya orang-orang sudah selesai melaksanakan shalat Ashar. Maka beliau berkata: "Aku pergi hanya untuk sebuah kebun, aku pulang orang-orang sudah shalat Ashar...kini kebunku aku jadikan shadaqah buat orang-orang miskin."
Ibrah yang dapat diambil dari riwayat shahabat, Umar bin Khatab ra bahwa kesadaran untuk mengakui kesalahan atas perbuatan dirinya kemudian diterapkan mu'aqabah secara konsekuen akan membawa dampak positif. Dalam pengertian, dapat dijadikan panutan orang lain, lebih-lebih jika dijadikan panutan oleh para elit kekuasaan. Sekaligus menerapkan aturan hukum diterapkan kepada siapapun tanpa kecuali, bukan perilaku rejim yang menerapkan norma kesewenangan. Pemberian sanksi diberikan atas dasar keadilan yang diberikan Allah SWT setelah sebelumnya diberikan peringatan agar berjalan di wilayah Al-Haq: "....dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan....(QS.2:195). Demikian juga di tempat terpisah Allah SWT mengingatkan manusia supaya waspada yaitu: "....dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (QS.4:29).

Muhasabah

Jika merenungkan apa yang disampaikan Umar Al-Farq r.a., tentang makna muhasabah (introspeksi diri) yaitu: "Hisablah (nilailah) diri kalian sebelum kalian dihisab (dinilai), timbanglah diri kalian sebelum ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk pertunjukan yang agung (hari kiamat)." Di hari itu kamu dihadapkan kepada pemeriksaan, tiada yang tersembunyi dari amal kalian barang satu pun. Kesalahan yang sering terjadi di kalangan manusia melarikan diri dari sikap muhasabah, sehingga melemahkan untuk meningkatkan prestasi ibadah, karena merasa sudah berhasil. Lebih jauh lagi hakikat muhasabah seharusnya seorang mukmin memperhatikan modal, keuntungan, dan kerugian, agar ia dapat mengontrol apakah dagangannya bertambah atau menyusut. Yang dimaksud modal di sini adalah Islam secara keseluruhan, mencakup segala perintah, larangan, tuntutan, dan hukum-hukumnya. Sedangkan pengertian laba adalah melaksanakan ketaatan dan menjauhi larangan. Kemudian yang dimaksud kerugian adalah melakukan perbuatan pelanggaran (dosa). Allah SWT memberikan acuan yang berkaitan dengan muhasabah seperti firmanNya: "Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS.59:18).

Muraqabah

Makna muraqabah adalah terpatrinya perasaan keagungan Allah Azza wa Jalla di setiap waktu dan keadaan serta merasakan kebesaranNya di kala sepi ataupun ramai. Kuatnya kebersamaan dengan Allah SWT dapat menumbuhkan sikap yang selalu berhati-hati dalam berbuat, artinya akan senantiasa disesuaikan dengan aturan syariat. Jika keberadaan seperti ini berjalan secara istimrariyah (berkesinambungan) sudah dapat dipastikan kelak akan lahir pribadi-pribadi yang hanif.
Sikap muraqabah digambarkan oleh Nabi Muhammad SAW, ketika menjelaskan kata ihsan: "Hendaklah kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihatNya, dan jika memang kamu tidak melihatNya, maka sesungguhnya Allah melihat kamu." Sikap seperti ini di jaman modern sangat dibutuhkan sebagai pengendali udara materialistis yang dapat merusak sendi-sendi keimanan seseorang. Pengendalian melalui muraqabah lebih jauh akan mampu menciptakan tatanan masyarakat yang aman tentram (betul-betul terkendali).
Pelaksanaan muraqabah dimulai ketika akan dimulai saat akan melakukan suatu pekerjaan dan di saat mengerjakannya, hendaknya setiap orang mengoreksinya, apakah telah sesuai dengan aturannya atau sebaliknya. Sehingga ketika sampai pada suatu waktu tertentu akan terlihat, lebih-lebih bertemu dengan kegagalan. Mengapa terjadinya suatu kegagalan, padahal menurut perasaan melakukannya secara maksimal. Inti muraqabah tercermin melalui firman Allah SWT: "Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk shalat) dan melihat pula perubahan gerak badanmu diantara orang-orang yang sujud." (QS.26:218-219).

Mu'ahadah

Mu'ahadah
Langkah awal yang harus dilakukan setiap orang merenungkan mu'ahadah (mengingat perjanjian) terhadap Allah SWT, maupun terhadap dirinya sendiri. Aktivitas shalat yang dijalankan sehari semalam jika dipahami dengan benar, adalah indikator janji kepada Allah SWT, kemudian disebutnya al-ibadah ritual. Akan tetapi shalat yang dijalankan kurang dipahami sebagai aspek perjanjian (bai'at) sehingga tidak mampu mengubah sikap dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kaitan ini Dr.Abdullah Nasih Ulwan memberi metode cara mu'ahadah yakni hendaklah seseorang mukmin berkhlwat (menyendiri) antara dia dan Allah untuk mengintrospeksi diri seraya mengatakan pada dirinya: "Wahai jiwaku, sesungguhnya kamu tidak berjanji kepada Rabbmu setiap hari di saat kamu berdiri membaca "iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in."
Janji itulah yang selalu keluar dari lisan maupun qalbu seorang muslim setiap melakukan shalat, dengan demikian, seharusnya ditepati sehingga terhindar dari stempel munafik. Padahal Allah SWT menekankan agar setiap orang menepati janji yang telah dibuatnya: "Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji...." (QS.16:91). Kurang memperhatikan dengan perjanjian yang keluar dari lisan seseorang, jika tidak ditepatinya dapat menggugurkan jati diri kemuslimannya.

Jalan Taqwa

Jika pilihan setiap manusia jatuh ke jalan ketaqwaan sudah dapat dibayangkan nilai akhir akan sampai kepada sebuah kemenangan yang hakiki. Diraihnya suatu kemenangan melalui aktivitas yang berat, tetapi atas dasar nilai-nilai ketaqwaan (ketaatan) itu, keberhasilan menyertainya. Secara tegas Allah SWT menyatakan ketaqwaan seseorang akan sampai kepada kemenangan: "Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan bertaqwa kepada Allah dan RasulNya dan takut kepada Allah dan bertaqwa kepadaNya maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan." (QS.24:52).
Untuk sampai ke arah kemenangan, sewajarnya setiap manusia mencari jalan dengan maksimal yang disertai sesuai ketentuan syari'at Islam. Maka jawaban yang tepat mencapainya, ustadz Dr. Abdullah Nasih Ulwan melalui sebuah kitab berjudul "Ruhaniyatud-Da'iah" memberikan cara mencapai ketaqwaan. Bahwa terdapat beberapa marhalah (langkah) yang perlu dilalui untuk menuju taqwa yaitu:

Sifatul Insan

II. Sifatul Insan
Hilangnya penyadaran manusia terhadap asal serta tujuan diciptakan oleh Allah SWT adalah konsekuensi tidak ma'rifah (mengenal) terhadap dirinya. Sehingga menjadikan hidupnya tanpa memperhatikan norma-norma yang seharusnya dipatuhi. Dalam kaitan ini perlu direnungkan pepatah yang menyebutkan: "man a'rafa nafsah faqad a'rafa rabbah, maknanya "Barang siapa mengenal dirinya niscaya mengenal Rabbnya."
Maka sangat wajar jika di kalangan ummat kurang menyadari hakekat untuk apa diri ini diciptakan dan harus bagaimana melakukan aktivitas di dunia, karena tidak mengenal akan dirinya sendiri. Padahal manusia diciptakan lebih mulia dibandingkan dengan makhluk lainnya, yakni diberikan akal. Hanya masalahnya, akal itu tidak difungsikan sebagaimana seharusnya sesuai dengan petunjuk dari Sang Khaliq.
Gambaran manusia yang tidak memfungsikan akal seperti aturannya telah ditegaskan Al-Quran: "Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai." (QS.7:179).
Akal dalam arti yang sebenarnya akan mampu mengarahkan maupun mengondisikan dirinya, jika setiap insan telah ma'rifah secara jujur. Ma'rifah seperti yang disinggung di atas, sebuah tugas yang sepenuhnya tanggung jawab setiap insan, lebih-lebih keterkaitannya dengan Al-Khaliq (hablum minallah).
Ketika akal berfungsi, maka reaksi pemahaman tentangakan penciptaan alam pun dapat dikenalnya kemudian mengerti jalan yang harus ditempuh. Dan Allah SWT, memberikan dua jalan yang disodorkan kepada manusia untuk dipilihnya seperti firmanNya: "Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan." (QS.90:10). Kemudian dua jalan yang dimaksud secara transparan disinggung pada firman lain yaitu: "Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya (QS.91:8). Dua jalan yang tersedia ketentuan final adalah diserahkan kepada setiap orang untuk memilihnya, dan tentunya akan membawa konsekuensinya atas pilihannya itu.

Ma'rifatul Insan

I. Mukadimah (Pendahuluan)
Allah SWT menciptakan manusia ke dunia mempunyai maksud tertentu, yakni selain agar beribadah kepadaNya diamanatkan sebagai Khalifah Fil Ardhi sehingga tercipta masyarakat yang tentram serta sejahtera. Akan tetapi tugas yang diamanatkan kepada Al-Insan (manusia) sering kali dimanipulasikan sesuai kehendak hawa nafsu syaitan,sehingga fungsi sebagai khalifah tidak dapat dilaksanakan dengan sebenar-benarnya.
Sesungguhnya, jika setiap manusia memahami akan maksud diciptakan Allah SWT ke dunia ini, maka segala gerak langkahnya selalu disesuaikan dengan syariat dinullah. Tujuan diciptakan manusia secara argumen yang ditegaskan Allah SWT seperti firmanNya: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu." (QS.51:56). Dengan penjelasan firman Allah SWT tersebut sudah jelas dan tegas apa yang seharusnya diperbuat oleh manusia dalam kehidupan sehar-hari, yaitu penghambaan secara totalitas kepada Al-Khaliq.
Harus diakui dalam realita kehidupan sehari-hari penyimpangan hampir tidak dapat dihindarkan dari perbuatan manusia, karena dunia sekuler lebih dominan dibandingkan dengan hakekat kebesaran Allah SWT,sebagai penguasa tunggal. Terjajahnya oleh bentuk kezaliman pada dasarnya terdapat peluang yang dimiliki oleh manusia, yakni berupa da'fu iman (lemah iman). Terdapatnya da'fu iman jika dibiarkan hidup pada diri seseorang akan memudahkan operasinya kelompok syaitan dengan leluasa. Karena para syaitan mempunyai komitmen untuk menghancurkan umat manusia dengan wasail (sarana) serta berbagai arah pengerti penegasan Allah SWT: "Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)." (QS.7:17).
Perlu disadari secara cermat, bahwa aktivitas syaitan seperti ditegaskan oleh Allah SWT melalui ayat di atas, sebuah gerakan yang akan dijalankan secara istimariyah sampai pada suatu keberhasilan tertentu yaitu menciptakan manusia mungkar.

Tuesday, August 4, 2009

Malam Nisfu Sya,ban

Dari abi Hurairoh ra: Sesungguhnya Nabi telah berkata: Telah datang kepadaku malaikat Jibril alaihissalam pada malam Nisfu Sya'ban (malam tanggal 15 bulan Ruwah/Sya'ban) dan Jibril berkata: Hai Muhammad, malam ini adalah malam terbukanya semua pintu langit dan pintu rahmat, berdirilah dan shalat lah, angkat kepala dan tanganmu berdoa kepada allah.. Aku pun bertanya kata Nabi "Wahai Jibril, Malam apakah ini?: "Ini adalah malam dimana 300 pintu rahmat telah dibuka..Maka Allah akan mengampuni semua manusia yang tidak musyrik kepadanya dan kecuali tukang sihir, dukun atau ahli ramal, orang yang suka memusuhi orang lain, orang yang gemar mabuk-mabukan, orang yang melakukan zina, tukang memakan harta riba, tukang menyakiti orang tuanya, tukang ngadu-ngadu atau "ngadu domba", dan orang yang memutuskan tali persaudaraan. Kepada mereka semua tidak diberikan ampunan kecuali telah bertobat dan berjanji tidak akan kembali lagi.

Mendengar penjelasan dari malaikat Jibril seperti itu maka keluarlah Nabi menuju Masjid lalu beliau shalat dan menangis didalam sujudnya seraya berdo'a :
اللهم اني اعوذبك من عقابك وسخطك ولا اُحصي ثناءعليك انت كما اثنيت علي نفسك فلك الحمد حتي ترضي

"Allohumma inni A'udzubika min Aqoobika wasakhotika, walaa uhsii tsana'a Alaika, Anta kamaa atsnaita alaa nafsika falakalhamdu hatta tardlo.."

Dalam keterangan lain diriwayatkan dari Yahya ibnu Muadz: Beliau mengatakan Sesungguhnya Sya'ban (شعبان) terdiri dari lima huruf yang mendatangkan hadiah atau pahala bagi orang mu'min

Huruf Syin : artinya Syarfun wa Syafaat atau Kemuliaan dan Syafaat (Pembelaan Nabi terhadap Umatnya di hari kiamat)
Huruf Ain : artinya Izzah walkaromah, Izzah adalah martabat atau kedudukan yang tinggi sedangkan karomah adalah kemuliaan disisi Allah
Huruf Ba' : Al-birru (kebaikan, baik akhlak dan sifatnya)
Huruf Alif : Ulfah atau sifat kasih sayang
Huruf Nun : An-Nur atau Cahaya

Karena itu Yahya bin Muadz mengatakan: Bulan Rajab adalah bulan untuk mensucikan badan, bulan sya'ban untuk mensucikan hati, dan bulan Ramadhan untuk mensucikan Ruh, Jika di bulan rajab badan tidak disucikan dan pada bulan Sya'ban hati tidak bersih, bagaimana mungkin di bulan ramadhan Ruh akan suci?. Berkatalah para Ulama. Bulan Rajab untuk Istighfar memohon ampunan dari segala dosa, bulan Sya'ban ubtuk mensucikan hati dari mendengki dan musyrik, dan bulan ramadhan untuk menerangi hati mensucikan ruh, malam lailatulqadar untuk mendekatkan diri kepada allah.

Nabi berkata: barang siapa yang puasa tiga hari di awal bulan Sya'ban (tgl 1,2,3), tiga hari di pertengahan Sya'ban (tgl 13,14,15), dan tiga hari di akhir Sya'ban maka Allah akan menuliskan pahala tujuh puluh nabi, dan seperti orang yang beribadah kepada Allah tujuh puluh tahun, dan jika orang tersebut mati pada tahun itu juga maka dia tercatat sebagai orang yang mati syahid. (tidak perlu bunuh diri untuk mati syhadi.pen) dan Nabi melanjutkan : Barang siapa yang mengagungkan atau memuliakan bulan Sya'ban, taat beribadah kepada Allah, mengerjakan ibadahnya tanpa ria (ingin dipuji orang), menahan dirinya berbuat ma'siat. Allah akan mengampuni dosanya dan menjamin akan selamat dari bahaya dan penyakit yang akan datang di tahun itu.
والله اعلم بالصواب
انتهي، ذرةالناصحين ٢٠٧-٢٠٨