Monday, June 21, 2010

Silsilah Akbar Dalem Cikundul-Cirebon dan Banten

Download:
1. Silsilah Akbar Dalem Cikundul (silsilah Bagan format CDR)
2. Sejarah Cianjur sareng Rd. Aria Wiratanu (EBOOK bhs. Sunda)

Friday, September 11, 2009

Manaqib Abuya Dimyati

MENGENANG SANG WALI QUTUB (ABUYA DIMYATI)
Sinopsis Buku: Manakib Abuya Cidahu (Dalam Pesona langkah di Dua Alam)
Alangkah ruginya orang Indonesia kalau tidak mengenal ulama satu ini. Orang bulang Mbah Dim, Banten atau Abuya Dimyati bin Syaikh Muhammad Amin. Beliau adalah tokoh kharismatik dunia kepesantrenan, penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah dari pondok pesantren, Cidahu, Pandeglang, Banten. Beliau ulama yang sangat konsen terhadap akhirat, bersahaja, selalu menjauhi keduniawian. Wirangi (hati-hati dalam bicara, konsisten dalam perkataan dan perbuatan). Ahli sodakoh, puasa, makan seperlunya, ala kadarnya seperti dicontohkan Kanjeng Nabi, humanis, penuh kasih sesama umat manusia. Kegiatan kesehariannya hanya mulang ngaji (mengajar ilmu), salat serta menjalankan kesunatan lainnya.

Beliau lahir sekitar tahun 1925 anak pasangan dari H.Amin dan Hj.Ruqayah. Sejak kecil Abuya Dimyathi sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya, beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya mulai dari Pesantren Cadasari, kadupeseng Pandeglang, ke Plamunan hingga ke Pleret Cirebon. Semasa hidupnya, Abuya Dimyathi dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai, sehingga tak berlebihan kalau disebut sebagai tipe ulama Khas al-Khas. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten, di samping sebagai pakunya negara Indonesia . Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau adalah orang yang sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau terasa ada perasaan ‘adem’ dan tenteram di hati orang yang melihatnya.

Abuya Dimyati, begitu panggilan hormat masyarakat kepadanya, terlahir tahun 1925 di tanah Banten, salah satu bumi terberkahi. Tepatnya di Kabupaten Pandeglang. Abuya Dimyathi dikenal sosok ulama yang cukup sempurna dalam menjalankan perintah agama, beliau bukan saja mengajarkan dalam ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf, tarekat yang dianutnya tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah. Maka wajar jika dalam perilaku sehari-hari beliau penuh tawadhu’, istiqamah, zuhud, dan ikhlas. Abuya adalah seorang qurra’ dengan lidah yang fasih. Wiridan al-Qur’an sudah istiqamah lebih dari 40 tahun. Kalau shalat tarawih di bulan puasa, tidak turun untuk sahur kecuali setelah mengkhatamkan al-Qur’an dalam shalat.. Oleh karenanya, tidak salah jika kemudian kita mengategorikan Abuya sebagai Ulama multidimensi.

Dibanding dengan ulama kebanyakan, Abuya Dimyathi ini menempuh jalan spiritual yang unik. Beliau secara tegas menyeru: “Thariqah aing mah ngaji!” (Jalan saya adalah ngaji). Sebab, tinggi rendahnya derajat keualamaan seseorang bisa dilihat dari bagaimana ia memberi penghargaan terhadap ilmu. Sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Mujadilah ayat 11, bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. Dipertegas lagi dalam hadis nabi, al-Ulama’u waratsatul anbiya’, para ulama adalah pewaris para nabi. Ngaji sebagai sarana pewarisan ilmu. Melalui ngaji, sunnah dan keteladanan nabi diajarkan. Melalui ngaji, tradisi para sahabat dan tabi’in diwariskan. Ahmad Munir berpendapat bahwa ilmu adalah suatu keistimewaan yang menjadikan manusia unggul atas makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahannya.

Saking pentingnya ngaji dan belajar, satu hal yang sering disampaikan dan diingatkan Mbah Dim adalah: “Jangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain atau karena umur”. Pesan ini sering diulang-ulang, seolah-olah Mbah Dim ingin memberikan tekanan khusus; jangan sampai ngaji ditinggal meskipun dunia runtuh seribu kali! Apalagi demi sekedar hajatan partai. Urusan ngaji ini juga wajib ain hukumnya bagi putra-putri Mbah Dim untuk mengikutinya. Bahkan, ngaji tidak akan dimulai, fasal-fasal tidak akan dibuka, kecuali semua putra-putrinya hadir di dalam majlis. Itulah sekelumit keteladanan Mbah Dimyati dan putra-putrinya, yang sejalan dengan pesan al-Qur’an dalam surat al-Tahrim ayat 6, Qu anfusakum wa ahlikum naran.

Dahaga akan ilmu tiada habis, satu hal yang mungkin tidak masuk akal bila seorang yang sudah menikah dan punya putra berangkat mondok lagi, bahkan bersama putranya. Tapi itulah Abuya Dimyati, ketulusannya dalam menimba ilmu agama dan mensyiarkannya membawa beliau pada satu tingkat di atas khalayak biasa.

Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantany. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.(hal 396).

Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’ dan mendapat laqob ‘Sulthon Aulia’, karena Abuya memang wira’i dan topo dunyo. Pada tiap Pondok yang Abuya singgahi, selalu ada peningkatan santri mengaji dan ini satu bukti tersendiri di tiap daerah yang Abuya singgahi jadi terberkahi

Namun, Kini, waliyullah itu telah pergi meninggalkan kita semua. Abuya Dimyathi tak akan tergantikan lagi. Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 03:00 wib umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama telah kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad Amin Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78 tahun. Padahal, pada hari itu juga, dilangsungkan acara resepsi pernikahan putranya. Sehingga, Banten ramai akan pengunjung yang ingin mengikuti acara resepsi pernikahan, sementara tidak sedikit masyarakat –pelayat- yang datang ke kediaman Abuya. Inilah merupakan kekuasaan Allah yang maha mengatur, menjalankan dua agenda besar, “pernikahan” dan “pemakaman”. (tor/abu-abu/Dari berbagai sumber)

Tuesday, August 18, 2009

Kepastian Nasab

الولد للفراش وللعاهر الحجر
"Nasab anak mengikuti laki-laki yang menjadi suami ibunya, sedangkan bagi orang
yang berzina, hukuman nya adalah rajam" (HR. Abu Dawud no. 1935, 1936 CD; Nasa'i
no. 3428,3429,3430,3432 CD; Ibnu Majah no. 1996,1997,2703 CD; dan Baihaqi, dari
'Aisyah)

Penjelasan:
Dalam Hadits di atas dijelaskan bahwa pernikahan yang sah berpengaruh pada
kepastian nasab anak. Apabila seorang perempuan telah sah menikah dengan seorang
laki-laki, tentu saja laki-laki inilah yang menjadi bapak dari anak-anaknya.

Dalam pernikahan yang sah menurut Islam, akad nikah dilakukan oleh perempuan dan
laki-laki sebelum keduanya melakukan hubungan seksual. Jika akad nikah dilakukan
setelah keduanya berhubungan seksual dan perempuannya sudah hamil, hukumnya
haram. Anak yang dikandung perempuan tersebut tidak boleh dinasabkan kepada laki
-laki yang menikahi nya walaupun laki-laki itulah yang menghamilinya.

Pernikahan tersebut hukumnya haram. Jadi, anak yang dilahirkan oleh perempuan
tersebut menurut Islam bukan anak dari laki-laki yang menjadi suaminya.
Kepastian nasab bagi seorang anak merupakan hal yang pokok dalam hubungan anak
dengan orang tuanya. Kepastian nasab akan memperjelas hak dan kewajiban anak
terhadap orang tuanya;juga sebaliknya. Kewajiban anak terhadap orang tua adalah
berbakti. Sebaliknya, kewajiban orang tua terhadap anak antara lain memberi
nafkah. Adapun hak orang tua terhadap anak, selain dipatuhi, adalah mendapatkan
warisan dari anaknya jika kelak anaknya meninggal, sedangkan mereka masih hidup.

Jadi kepastian nasab bukan hanya menyangkut hak anak untuk mendapatkan nafkah dari bapaknya, melainkan juga menjadi kepentingan bapaknya kelak agar setelah ia jompo dan lemah anaknya yang dewasa bertanggung jawab memelihara dan menyantuninya.

Kepastian nasab sangat penting dalam hukum Islam karena Islam tidak mengakui berbagai macam bentuk nasab orang tua dan anak di luar pernikahan. Anak angkat, anak pungut, anak hasil berzina, dan anak tiri merupakan contoh nasab anak yang tidak diakui Islam.

Walaupun masyarakat mengakui hubungan anak angkat dengan bapak angkat, Islam tidak menolak penasaban tersebut dan menyatakannya sebagai perbuatan jahiliyah yang harus diberantas. Demikian juga anak yang diambil seseorang di jalanan dan tidak diketahui siapa orang tuanya. Walaupun pemungutnya berkewajiban memelihara sampai anak tersebut dewasa, anak yang dipungut tetap tidak mempunyai hubungan apapun dengan pemungutnya. Anak tiri pun begitu, ia tidak mempunyai hak waris dari bapak tirinya;juga sebaliknya.

Jadi, hanya melalui pernikahan yang sah menurut Islamlah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan akan memperoleh nasab yang jelas, yaitu kepada laki-laki yang menjadi suaminya.
والله اعلم بالصواب